Tapak Syiar Islam Sunan Gunung Djati
Sunan Gunung Djati adalah salah satu
dari sembilan orang penyebar agama Islam terkenal di Pulau Jawa. Atau yang lebih dikenal sebagai salah satu dari
Wali Sanga. Kehidupannya selain sebagai pemimpin spiritual, sufi, mubaligh dan
dai pada jamannya. Juga sebagai pemimpin rakyat karena beliau menjadi raja di
Kasultanan Cirebon, bahkan sebagai sultan pertama Kasultanan Cirebon yang
semula bernama Keraton Pakungwati.
Terlahir dari pasangan Ratu Nyimas dan Sultan Mesir bernama Syekh Abdullah. Sunan Gunung
Djati dilahirkan di kota Makkah pada tahun 1450 M. Syarif Hidayatullah nama lain dari Sunan Gunung Djati
merupakan anggota keluarga dari kerajaan Padjajaran yang dipimpin oleh Sultan
Prabu Siliwangi. Ibunya Ratu Nyimas Larasantang merupakan putri kandung dari Prabu Siliwangi yang
menikahi Ratu Nyimas Purbalarang yang merupakan santri Syekh Gunung
Djati.
Ketika usianya
menginjak 25 tahun, Syarif Hidayattulah berencana diangkat menjadi Sultan di
Kerajaan Mesir oleh Ayahnya Syekh Abdullah. Akan tetapi Syarif Hidayattulah
menolaknya dan ia lebih tertarik untuk tabligh Ke Jawa Barat khususnya Cirebon.
Berbekal tekad kuat untuk bertabligh di Cirebon, Syarif Hidayattulah memohon
izin meninggalkan kerajaan yang disusul oleh ibunya Ratu Nyimas.
Kedatangan Sunan
Gunung Djati di kota Cirebon, tepatnya di kampung Caruban Lawang, disambut
laksana Raja oleh masyarakat setempat dan oleh Uwanya Pangeran Walangsungsang.
Setelah beberapa lama ia
berkiprah dalam menyebarkan syiar islam di tanah jawa, akhirnya ia tak sendiri
lagi dalam perjuangannya menyebarkan agama islam. Ia ditemani
sahabat-sahabatnya yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa tengah, merekalah yang dikenal sebagai walisongo (wali
sembilan) yang berarti orang penyebar agama Islam di tanah Jawa. Para wali
berkumpul dan bermusyawarah untuk mengembangkan Islam di tanah Jawa umumnya di
Nusantara.
Sebagai satu dari
ke sembilan wali, Sunan Gunung Djati dikenal sebagai ulama satu-satunya yang
menyebarkan agama islam di Jawa Barat. Pendekatan kepada raja-raja merupakan
salah satu kunci utama dakwah yang digunakannya. Karena pada zaman itu, banyak
terdapat kerjaan-kerajaan kecil yang masih beragama Hindu Budha.
Alhasil, kerja keras serta
perjuangannya pun tidak sia-sia. Di usianya yang masih terbilang muda, ia mampu
merubah kebiasaan masyarakat yang berbenturan dengan norma agama islam, dan
syiar islamnya pun akhirnya sampai dan bisa diterima masyarakat banyak.
Dikatakan Ading Kusdiana Ketua Jurusan Sejarah
dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN SGD Bandung, penyebaran syiar Islam di Jawa Barat bagaimanapun juga
tidak bisa dipisahkan dan dilepaskan dari peranan Sunan Gunung Djati atau
Syarif Hidayatullah. Melalui tangan Syaraif Hidayatullahlah syiar Islam tersebar di Tanah Jawa Khususnya
wilayah pedalaman Jawa Barat contohnya daerah Kuningan, Majalengka, Garut dll.
“Sunan Gunung Djati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra
Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman
Pasundan atau Priangan. Melalui Pesantren
Cita Rasa atau Pesantren Pesanggahanlah Syarif Hidayatullah mulai menyebarkan syiar agama Islamnya,” ujar Ading
yang ditemui diruangannya (06/05).
Selain menyebarkan syiar Islam, saat kedatangannya di kota Cirebon, Sunan Gunung Djati pun berhasil membuat sebuah
rumah yang dinamai Penata Agama Pesambangan (islamic center). Tak lama setelah
itu, Sunan Gunung Djati kembali membangun sebuah Keraton ditengah-tengah kota
Cirebon bernama Keraton Pakung Wati, yang diambil dari nama Istrinya Ratu Nyi Pakung Wati, yang
sekarang disebut Keraton Kasepuhan.
“Dalam berdakwahnya, ia menganut
kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan
membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar
wilayah” tambah Ading.
Sekitar tahun 1570, Sunan Gunung Djati berpulang
menghadap pada sang pencipta, ia tutup usia saat ia berumur 120 tahun, akibat
sakit di usia senja nya. Diiringi dengan tangis anak cucu dan murid-muridnya,
Sunan Gunung Djati dikebumikan dipemakaman Gunung Sembung sebelah utara kota
Cirebon Desa Astana, Kecamatan Gunung Djati, Kabupaten Cirebon yang berjarak 5
KM dari jalan raya Cirebon-Indramayu. Sesuai dengan wasiatnya, ia dimakamakan
berdampingan dengan Ratu Nyimas Rarasantang dan Pangeran Walasungsang. Dan konon,
ia meninggal dengan memperlihatkan senyuman yang tenang.
Hingga saat ini,
tempat peristirahatan Sunan Gunung Djati tersebut menjadi salah satu cagar budaya bersejarah di
Kota Cirebon, yang dibagi ke dalam dua komplek pemakaman yaitu kesepuhan dan
Kanoman. Tidak sedikit, wisatawan lokal dan mancanegara datang untuk menziarahi makam Sunan Gunung Djati.
Dan
selain itu, nama Sunan Gunung Djati beserta gelar dan panggilannya kini di
abadikan sebagai nama Perguruan Tinggi Islam yang berada di wilayah barat pulau
Jawa. Seperti UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan IAIN Syekh Datuk Khafi Cirebon.
Hingga hal tersebut menuai komentar dari Ading
Kusdiana, ia mengatakan bahwa nama-nama tersebut hanya merupakan sebuah
penghormatan saja kepada orang yang telah berjasa dalam meebarkan syiar Islam.
“Sebetulnya
Nama-nama tersebut hanyalah Untuk mengabadikan orang-orang yang memiliki peran didalam upaya menyebarkan agama Islam di
Tanah Jawa khususnya di Jawa Barat dan juga tidak melupakan jasa-jasa para
penyebar Islam terdahulunya sehingga masyarakat mengakui keberadaan Sunan
Gunung Djati dan namanya akan tetap harum sampai di kenal oleh anak cucu dan
turunannya kelak dimasa mendatang” pungkasnya.[]Wisma, Norman/Suaka.
·
Penulis : Wisma Putra
·
Redaktur : Resita