Control Social dan Jurnalis
Dunia Kejurnalistik atau dunia
Kewartawanan adalah dunia keras bagi segelintiran orang, akan tetapi banyak
dari segelintiran orang menganggap dunia Kejurnalistikan amat mereka nikmati
ketika muncul kemauaan dan bukan paksaan, dunia kejurnalistikan bukan lagi
kegiatan selain harus bisa menguasai dunianya seperti tulis-menulis seorang
jurnalis juga ditungtut harus mampu mengontrol keadaan social dalam
pemberitaannya.
Menurut
Undang-Undang Pers Nomer 40 Tahun 1999. Dinyatakan bahwa pers merupakan lembaga
sosial dan wahana kominukasi massa yang melakasanakan kegiatan
jurnalistik.
Seorang
Jurnalis bisa disebut juga sebagai alat “kontrol social” karna memiliki fungsi
mencari, mengali , menyebarkan dan Jurnalis juga harus mampu mengontrol keadaan
social dalam pemberitaanya.
Untuk
Menjadi seorang jurnalis professional bukan hal yang mudah, selain membutuhkan
komitmen dan etos kerja dari seorang jurnalis itu sendiri nilai-nilai
kedisiplinan, kepatuhan kepada kode etik maupun norma-norma jurnalistik perlu
ditanamkan agar jurnalis itu dapat memberikan informasi yang bermutu, layak,
factual, cepat tanggap dan semua pemberitaannya dapat dipertanggungjawabkan
juga mempunyai asas Profesionalisme, Demokratis, Moralitas dan Supermasi Hukum..
Profesi
sebagai jurnalis sangat vital dan sangat dibutuhkan perannya dizaman
sekarang. Tanpa Jurnalis dunia gelap akan informasi. Seperti yang
dilansir dalam buku karya Asep Saepuloh Muhtadi, M.A. pengajar dan mantan ketua
Jurusan Fakultas Dakwah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Profesi
menjadi seorang jurnalis memang tak mudah. Dalam dunia jurnalistik, profesi
menjadi lebih menarik, khususnya bagi para cendikiawan yang terbiasa bergelut
dengan hal-hal yang bebas dan ideal. Ketertarikannya itu terutama didasarkan
pada suatu konsepsi yang menyatakan bahwa dunia jurnalistik memiliki aspek
idealism yang dapat mempertajam profesi tersebut bagi para pelakunya.
Tanpa
Idealisme, seperti halnya dunia ilmu, jurnalistik akan kehilangan identitasnya
sebagai lembaga yang independen dan bebas melakukan control social. Sebab,
karna kebebasab dan tanggung jawabnya yang terikat pada kode etik itulah
kemudian pers disebut sebagai kekuatan keempat (the fourth estate) dalam
tatanan kehidupan social.
Mengapa
seorang jurnalis disebut sebagai alat control social ?? karna pekerjaan Seorang
jurnalis harus mampu mengontrol, memantau dan menganalisa pemberitaan yang
booming saat ini. Jurnalis juga harus mampu berperan dalam menjaga
ketertiban dunia uang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
social.
Dalam
perannya sebagai control sosial, kondisi pers di Indonesia memang mengalami
pasang surut. Hal ini sangat tergantung pada kepemimpinan pemerintah. Pada masa
Orde baru , misalnya, peran sosial pers ini hampir-hampir tidak terlihat. Hal
ini disebabkan pemerintah tidak mau borok-boroknya diketahui publik. Dalam hal
ini pers hanya berperan sebagai media pendidikan dan media hiburan , atau
bahkan harus menjadi corong pemerintah untuk memberikan hal-hal positif yang
telah dilakukan pemerintah , seperti keberhasilan didalam pembangunan , tetapi
tidak boleh diberitakan kecurangan pemerintah , atau sekandal oknum pejabat
dalam pemerintahan.
Ketika itu ,
meski banyak oknum pemerintah yang memiliki rekening gendut, memiliki harta
berlimpah, memiliki kebiasaan buruk, hampir tidak ada pemberitaannya di
media-media cetak kita. Kita tentu masih ingat kekerasan-kekerasan yang menimpa
Para wartawan, contoh kasus kisah Fuad Muhammad Syarifudin (Udin) seorang wartawan
harian Bernas dari Yogyakarta , yang mempubikasikan artikel keritisnya tentang
kebijakan pemerintah Orde baru, yang mendapat kekerasan dan dihabisi dengan
cara mengenaskan sampai meninggal dunia oleh orang yang tidak dikenal.
Pada masa
reformasi ini , meskipun pers telah memiliki kebebasan berpartisipasi dalam
peran dan fungsinya sebagai “ kontrol sosial ”, ternyata masih banyak oknum
pemerintah atau pejabat Negara yang terkandung kasus hukum. Bahkan Negara kita
termasuk Negara yang masuk “ lima besar ” Negara yang paling korup. Kalau kita
cermati , dimulai dari anggaran itu disusun oleh Banggar DPR sudah tercium
aroma korupsi . Sudah dapat dipatikan , hal itu akan terus berlanjut ke
tahap-tahap berikutnya.
Para pelaku
korupsi telah memahami bahwa pers merupakan bencana bagi mereka, maka akan
lebih berhati-hati di dalam melakukan rekayasa tindakan korupsi , sehingga
mereka akan melakukan transaksi secara lebih canggih lagi. Oleh karena itu,
insane pers pun harus memiliki strategi yang lebih canggih lagi, sehingga mampu
membongkar banyak kasus kecurangan oknum pejabat publik dalam kapasitasnya
sebagai wartawan.
Sebagai
control social seorang wartawan harus transparan dalam pemberitaannya tidak
boleh ada unsur penambahan atau pengurangan apalagi beratsebela, selain itu
juga fakta-fakta dalam pemberitaannya harus asli dan terbukti keapyahannya.
ADS HERE !!!