Situs
Cagar Budaya Rumah Adat Cikondang,
secara Geogarafis terletak di
wialayah Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Kampung yang
berbatasan dengan Kecamatan Cikalong ini memiliki Situs Cagar Budaya Rumah
Adat yang berdiri sejak abad ke-17.
Untuk sampai ke Kampung Adat Cikondang bisa ditempuh dengan 90 menit
perjalanan, sekitar 38 kilometer dari Kota Bandung via Kecamatan Banjaran.
Menurut
penuturan Kuncen Kampung Adat Cikondang, Anom Juhana konon katanya asalmuasal
kampung ini dibawa oleh seorang wali yang menyebarkan Agama Islam di tanah jawa “Sejarah masyarakat
Kampung Cikondang dulunya adalah masyarakat Human Nomaden yang berpidah-pindah
membuka Hutan, membuat lahan, dan mendirikan pemukima yang diprakarsai oleh
Uyut Istri dan Uyut Pameget” ucapnya
Kampung
Adat Cikondang ini merupakan pemukiman dengan pola arsitektur Rumah Tradisional
menempati tanah seluas 3 hektare yang
berisikan sekitar 40 Rumah Adat yang ada di Desa terpencil direleng Gunung Tilu
Pangalengan. “Sekitar tahun 1942 Kampung Adat
Cikondang ini dibumi hanguskan oleh Belanda karna dahulunya Kampung ini
dijadikan tempat persembunyian para pejuang Indonesia yang telah diketahui
keberadaannya” tambahnya.
Di
abad ke-17 warga Kampung Cikondang sudah memeluk agama Islam yang dibawa oleh
Sunan Gunung Djati atau yang dikenal dengan nama Syekh Srif Hidayatullah.
Kepercayaan
leluhur di Rumah Adat Kampung Cikondang masih kental dengan benda cagar budaya.
Setelah Islam dikenalkan oleh Sunan Gunung Djati kepada masyarakat Kampung
Cikondang pada abad ke-17, Seluruh masyarakatnya beragama Islam, namaun pada
kenyataanya masih mempercayai adanya roh-roh leluhur. Hal ini dituangkan dalam
kepercayaan mereka yang menggagap leluhurnya akan melindungi mereka setiap
saat.
Rumah
Adat Cikondang tidak digunakan sebagai obyek wisata karna nuansa kepercayaan
adat masih kental pada nilai ketabuan masyarakatmasih melekat.
Abah
Ilin selaku Kordinator Kampung Adat Cikondang mengatakan, “Untuk masuk ke Rumah
Adat Cikondang masih Banyak pantrangan yang harus dipatuhi” , diantaranya :
1.
Wanita yang sedang
mengalami Menstruasi.
2.
Jika masuk kedalam
Rumah Adat Cikondang harus melangkahkan
dengan menggunakan kaki kanan terlebih dahulu, dan keluar dengan melangkahkan
kaki kiri.
3.
Mengucapkan salam
dan basmalah sebelum masuk ke kawasan Rumah Adat Cikondang.
4.
Berselonjor kaki
dan kencing kearah selatan.
5.
Menginjak Parko
atau alas Hawu.
6.
Dihari Rabu, Jumat,
Sabtu tidak diperkenankan masuk ke Kawasan Rumah adat termasuk melihat Makam
Eyang Istri dan Eyang Pameget. Dan,
7.
Ditiga hari yang
sama tidak boleh mengambil gambar didalam Rumah Adat Cikondang.
Setelah
peristiwa Tahun 1942 Rumah Adat di Kampung Cikondang hanya tersisa satu Rumah
Adat yang diistimewakan, “Sebetulnya masyarakat waktu itu ingin membangun Rumah
Adat kembali, namun karna bahan untuk
membangunnya dibutuhkan kayu yang sangat banyak, dan sementara bahan-bahan yang
tersedia di Hutan Larangan tidak memadai maka masyarakat membangun kembali
rumah-rumahnya dengan menggunakan bahan umum” , ujarnya.
Sisi Lain Dari Situs Cagar Budaya
Rumah Adat Cikondang rumah adat
Ketika
tiba bulan Muharam, warga yang tinggal
di Situs Cagar Budaya Rumah Adat Cikondang, melakukan Reumbuk Padi dan
mengolah berbagai macam makanan dari padi
lulugu atau padi ketan untuk perayaan wuku taun dari 1 muharam yang
dilaksanakan sampai 24 muharam.
Terucap
dari Abah Ilin, ada dua belas rupa makanan ringan dan 7 rupa rencang sangu
(lauk makanan) yang dibungkus dengan menggunakan daun pisang atau konca yang
disajikan ketika datang perayaaan wuku taun. “Duabelas rupa warna makanan
mempunyai filosofi setahun ada duabelas bulan, dan tujuh rupa makanan yang
mempunyai arti bahwa seminggu itu ada tujuh hari.”
Bentuk
Rumah Adat Cikondang sangat minimalis dan mengandung banyak arti, memiliki 1 pintu yang mempunyai filosofis
percaya hanya kepada allah SWT, 5 jendela yang mengingatkan rukun Islam itu ada
lima, dan 9 penyekat Jendela yang mempunyai sejarah Islam di Indonesia
disebarkan oleh sembilan tokoh Islam atau disebut dengan wali songo.
Jika
kita masuk kedalam rumah adat, pastinya kita tidak akan menemui barang pecah
dan elektronik karena merupakan suatu pantrangan.
Abai
Ilid mengatakan, “Keunikan Kampung Adat Cikondang masih banyak selain
pantrangan ada empat pesan kebudayaan yang ditinggalkan dari leluhurK Adat
Cikondang yang berlaku pada abad ke-19”, diantaranya :
1. Atap rumah tidak menggunakan genteng, yang berarti
jangan lupa pada asalmuasal manusia yang berasal dari tanah. Jadi kita di
ibaratkan tinggal disuatu ruangan yang beratapkan tanah.
2. Tidak boleh naik
haji, karena waktu dulu biaya untuk naik haji membutuhkan biaya banyak.
3. Tidak boleh
menjadi orang kaya, karna takutnya menjadi orang yang serakah dan tidak
bersyukur kepada tuhan.
4. Tidak boleh
menjadi pejabat atau pegawai pemerintahan, yang artinya diabad ke-19 tersebut
kekuasaaan masih ditangan Belanda, yang dimana pribumi tidak boleh menjadi
antek-antek Belanda.
Nilai
nasionalisme masyarakat Kampung Adat Cikondang sangat tinggi, dibuktikan dari
pakian adat baju koko putih yang
melambangkan air yang bersih, celana hitam yang berarti tanah dari tanah akan
kembali ke tanah, juga ikat kepala yang mempunyai arti, “Sabengket, Saiket”
yang berati kita sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
bersatu. tutupnya.