Ketua Taman
Bacaan Masyarakat (TBM) pusat, Gol A Gong, mengisi bedah buku karyanya
sendiri yang berjudul "Air Mata
Kopi" di Gedung Korpri Kababupaten Bandung Jalan Raya Soreang Km 17 di
Komplek Pmekab Bandung yang diselenggarakan oleh Badan Perpustakaan Arsip dan
Pengembangan Informasi (Bapapsi). Acara
ini juga diisi dengan pemateri Soni Farid Maulana (wartawan PR) dan Bambang Q
Anees (dosen UIN Sunan Gunung Djati).
Kepala
Bapapsi Kababupaten Bandung, Slamet Mulyana mengatakan acara ini bertujuan
untuk meninglkatkan minat baca pada anak. "Upaya ini untuk peningkatan
budaya baca di kalangan masyarakat yang kini disadari masih rendah,"
katanya.
Acara ini
dihadiri kurang lebih 200 yang tergabung dari 20 SKPD, siswa SM dan SMA serta
pengelola TBM dan pengelola
perpustakaan desa. Slamet berharap acara yang dihadiri sekitar 200 orang
tersebut dapat bersinergi dalam meningkatkan perpustakaan desa dan taman
bacanya serta para siswa sering main ke perpustakaan. "Kami ingin agar perpustakaan desa juga
berkembang dengan baik layaknya TBM yang sudah bergerak jauh," ujarnya.
Bedah buku
dibuka Asisten Ekonomi dan Kesejahteraan Pemkab Bandung, Juhana. Ikut hadir
Kepala Perpustakaan Kab. Bandung, Irma Novita, yang juga mengerahkan mobil
pintar dan internet keliling untuk memeriahkan acara.
Ikhtisar Buku “Air Mata Kopi”
KOPI telah menjadi bagian penting dalam kehidupan
manusia di muka bumi. Ia bukan lagi sekadar minuman, namun telah menjadi gaya
hidup, medium sosialisasi, atau tren pergaulan seluruh lapisan masyarakat.
Beberapa dekade belakangan, kafe-kafe yang bermunculan di berbagai negara
bahkan menjadikan kopi sebagai menu khusus atau semacam drink-code. Kopi pun
disajikan dengan citarasa, style, dan nama unik.
Di sisi
lain, kopi kerap jadi “tersangka” pemicu munculnya berbagai jenis
penyakit. Mitos negatif kopi yang acap
terdengar, misalnya buruk bagi jantung, menghadirkan kecemasan, penyebab
dehidrasi, dan lainnya. Pendapat ini tidak selalu benar. Kopi tidak melulu
memeram dampak negatif. Kafein yang terkandung dalam kopi dirayakan tiap hari
oleh banyak orang dalam berbagai kesempatan.
\
Para
penikmat kopi tentu memiliki memiliki pengalaman pribadi perihal kopi yang
pernah direguknya. Tingkat konsumsi yang berbeda, sensasi subyektif saat
menikmati, kecenderungan menyukai kopi merek atau jenis tertentu. Lantas,
bagaimana mengekalkan ingatan personal tentang nikmatnya menyeruput kopi dalam
interval sebuah perjalanan panjang? Gol A Gong merangkumnya lewat kumpulan
puisi Air Mata Kopi. Ini semacam catatan perjalanan berbentuk puisi dengan tema
spesifik kopi. Buku ini adalah buku puisi ketiga Gol A Gong setelah Dunia Ikan
(2010) dan Membaca Diri(2013). Sebagaimana dijelaskan Gol A Gong, ini adalah
oleh-olehnya dari tur Sumatera selama Mei-Juni 2013. Tidak seluruhnya dibuat di
Sumatera, karena ada juga puisi yang bertitimangsa di Jawa, Natuna, Singapura,
dan India.
Traveling ke
banyak tempat untuk mencicipi satu hal (kopi) tentu menarik. Ada 49 puisi di
dalamnya, semua merujuk pada kopi. Bisa dibayangkan bagaimana melelahkan
sekaligus menggairahkan perjalanan menekuri kopi. Dimulai dari titik nol
kilometer di Pulau We, menikmati ragam budaya setempat, sembari singgah di
kedai-kedai atau rumah sahabat untuk menyeruput segelas kopi.
Ihwal baik
buruk kopi bisa ditemukan pada puisi pembuka “Jangan Minum Kopi”. Puisi “Nol
Kilometer” berlatar Sabang, kota paling ujung barat Sumatera. Di Aceh, minum
kopi, telah lama menjadi “kewajiban” bagi kaum pria. Mereka umumnya berkumpul
di kedai, mengobrol ngalor-ngidul, ditemani kopi. Dunia dibuka lewat kedai
kopi, begitu perspektif Gol A Gong dalam puisi “Kedai Kopi di Perempatan Jalan”
dibuat di Aceh. Kopi pun bisa dijadikan sampiran untuk menyindir pemimpin
Banten, domisili Gol A Gong, seperti dalam puisi “Ular Berkepala Ratu”.
Puisi-puisi dalam buku ini gamblang, cepat dipahami, tidak perlu menguliti
maknanya berkali-kali. Seluruh kalangan bisa menikmatinya tanpa harus berkerut
dahi. Maka, siapkanlah segelas kopi sebelum menikmati buku ini.
Kopi juga
bagian dari kuliner Indonesia. Di kota-kota yang disinggahi, Gol A Gong mencari
kopi khas lokal, yang kadangkala proses menyeduhnya unik, seperti kopi takar di
Rantau Prapat, kopi jossdi Yogya, kopi tungtau di Pangkalpinang, kopi tubruk di
Jawa, kopi luwak yang ngetren hingga mancanegara. Sayang, Gola A Gong belum
sempat bertemu kopi tumbuk lesung yang kian langka karena proses pengolahannya
tidak menyentuh besi dan menggunakan tenaga manusia.
Pertanyaan
usai membaca buku ini, apakah kopi yang telah menjadi komoditi dan konsumsi
dunia turut mengangkat harkat petani kopi itu sendiri? Pengantar singkat dari
penyair Fikar W Eda dalam buku ini memberi sedikit gambaran bahwa meski kopi
telah jadi kebutuhan global, petani kopi yang hanya menggantungkan hidupnya
dari tanaman ini tetaplah miskin. Di balik harum dan nikmatnya kopi yang
diseruput banyak orang, di kedai-kedai pinggir jalan hingga kafe-kafe mewah,
ada luka tersembunyi para petani kopi.
Gol A Gong
mengatakan, buku ini merupakan oleh-oleh bagi para penikmat kopi di Indonesia.
“Bentuknya kumpulan puisi, yang berisikan pengalaman tentang kopi ketika saya
melakukan perjalanan dari Lampung sampai Aceh,” katanya.
Ia mengungkapkan, buku puisi “Air Mata Kopi” dirancang
sudah lama sekali. Awalnya riset pustaka, Saya melakukan riset lapangan dengan
melakukan perjalanan menyusuri Sumatra selama 50 hari; Mei hingga Juni 2013.
Saya mulai dari Sabang, Banda Aceh, Sigli, Takengon, Kutacane, Kabanjae,
Binjai, Medan, Rantau Prapat, Natal, Pasaman, Padang, Sawah Lunto, Bukit
Tinggi, Payakumbuh, Pekanbaru, Bangka Belitung, Palembang, Lubuk Linggau, Pagar
Alam, Lampung. Saya nikmati setiap suguhan kopi setempat. Puisi-puisi itu saya
tulis diperjalanan. Beberpa puisi “Air Mata Kopi” dimuat di Koran Kedaulatan
Rakyat dan Majalah Sastra Horison pada 2013.
Buku puisi “Air
Mata Kopi’ merupakan suatu bentuk cipta yang didalamnya berisikan pengalaman si
penulis dan diuangkan dalam bentuk kata-kata. Dibuat dengan menggunakan
emosional si penulis saat melakukan perjalana, diambil dari beberapa pengalaman
yang direkam oleh si penulis yang memuat kata-kata yang bermaknan dan kaya akan
filosofis.
Saat
melakukan perjalanan dengan berjalan kaki ke kedai-kedai kopi beberapa bait
puisi indah tertuang dalam tulisan. Ia mengaku senang telah melakukan
perjalanan tersebut. Ia senang berjalan di puncak Gunung Takengo, “Sungguh
indah orang yang membuat bukit barisan, aya curiga kota tersebut banyak jinnya.
Indah sekali pemandangannya,” clotehnya.
Ia
menceritakan perjalanan indahnya. Di Pagar Alam Sumsel ia masuk ke gudang kopi
luwak, bukan hanya mencicip dan merasakan aromanya tapi ia langsung menuliskan
pngalamannya dalam bentuk puisi yang berjudul “Anak Kopi”.
“Sempat saya
ngobrol dengan para petani Pagar Alam.
Kepapa banyak artis yang menjadi model iklan kopi tapi mereka tak pernah
memperjuangkan kami?” dari sanalah hati Gol A Gong mulai tersentuh.
Di setiap
daerah-daerah yang dikunjunginya ia pasti membuat satu puisi. Perjalanan kopi
yang fantastis. Menorehkan luka petani yang kopinya di rampas dari kebun-kebun
puncak bukit.
“Ini buku
yang prestisius, kepulangan dari Sumatera 23 Juli, saya langsung mengadakan softlaunching buku ini, buku ini masuk pada
10 besar yang diterbitkan Gramedia dan telah melalui beberapa perganian cover,”
pungkasnya. Wisma Putra