Majalaya
mungkin sebagian orang kenal dengan nama
tersebut. Majalaya adalah salahsatu Kecamatan di Kabupaten Bandungyang memiliki
kekhasan produk tekstile.
Daerah
ini bisa dijangkau keluar Tol Buah Batu-Bojong
Soang-Baleendah-Ciparay-Majalaya. pun bisa, keluar dari Tol
Cileunyi-Rancaekek-Solokan Jeruk-Majalaya. Hanya dibutuhkan waktu 45 menit jika
ada di posisi kedua pintu keluar tol tersebut.
Salah
satu komoditas rumahan warga Majalaya kain tenun tradisional. Sudah sejak dulu
masyarakat Majalaya memiliki keterampulan menenundengan memproduksi
bermacam-macam kain yaitu songket, ulos dan sutera.\
Keterampilan
menenun warga Majalaya yang diturunkan oleh Ondjo Argadinata. Dia merupakan
oragng yang pertamakali mendirikan industri tenun rumahan menggunakan mesin tustel
atau Alat Tenun Bunan Mesin (ATBM). Ondjo juga merupakan tooh perintis industri
tekstil di Majalaya pada masa pemerintahan Kolonial Belanda Tahun 1930.
Hampir
80 Tahun berlalu, masa keemasan industri tenun Majalaya berakhir semenjak
kerisis moneter pada Tahun 1998. Saat ini, industri rumahan kain tenun
tradisional di Majalaya sudah jarang. Salah satu usaha kain tenun tradisional
yang masih bertahan adalah milik Cucu Juhariah sekaligus pemilik pabrik Bentang
Terang.
Usaha
ini merupakan turun menurun dari Haji Eme (Alm) yang berdiri sejak 1958. Atas
kesuksesnnya dahulu Haji Eme pernah mendapatkan penghargaan Upakarti
(penghargaan pemerintah yang diberikan kepada pengrajin dan pengusaha kecil
atas karya, jasa pengabdian dan keporaan di industri kecil dan kerajinan) dari Presiden kedua
Indonesia Soeharto. Sebab sejak Tahun 1950-an, Eme menjadi pengrajin dan
pemilik industri kain tenun rumahan di Majalaya.
Pada
Tahun 1997, karier Cucu sebagai pengusaha kain tenun tradisional dimulai
meneruskan ayahnya. Pahit manis usaha yang digelutinya sudah Cucu rasakan.
Dalam mengeola usaha tersebut Cucu dibantu suaminya. Dari usahanyalah, Cucu
mampu menafkahi keluarga dan keempat anaknya yang saat ini masih sekolah
dibangku SD, SMP, SMA.
Saat
ditemui Kerteraharja di pabriknya, beberapa waktu lalu, Cucu sedang menjalankan
mesin ATBM tua miliknya. Di pabrik yang hanya berukuran 5x10 m ini beberapa
mesin ATBM tua milik Cucu berjajar rapi. Beberapa karyawan Cucu bekerja dengan
tekun seraya melihat sang bos masih terus bekerja dengan penuh semangat.
Diumurnya
yang hamper mencapai setengahbaya Cucu menaruh harapan kepada mesin-mesin ATBM
tua tersebut. “Cukup sulit mempertahankan usaha turun temurun ini. Selain harus
menjaga kekhasan kai yang diproduksinya dan perawatan mesin yang cukup sulit
karena sudah tidak ada lagi spare
part-nya, bisnis kain tenun tradisional cenderung kurang peminat saat ini,”
katanya.
Proses produksi kain tenun tradisional cukup menyita
waktu, butuh waktu 2-3 hari untuk menyeklesaikan 2x3 meter kain. Lama tidaknya
produksi tergantung bahan dan motif yang diinginkan dan juga butuh kesadaran
tinggi untuk mendapatkan hasil kain tenun yang bagus dan berkualitas.
“Produksinya
pun dibatasi karena hanya kalangan tertentu yang masih menggunakan kain
tradisional ini,’’ ungkapnya.
Untuk
mempertahankan usahanya sampai saat ini, Cucu mengaku tak pernah kekurangan
bahan. Para pelanggan kerap membawa bahan untuk dikerjakan. Misalnya, untuk
membuat kain ulos, Cucu mendapatkan tangkai bunga doyo kering langsung dari
Kalimantan Barat. Sedangkan untuk bahan kain sutera dari Cina.
‘’Biasanya
kain yang diproduksi oleh saya dikirim ke luarnegeri, Juga ke luar pulau
seperti NTB, Bali, Kalimantan, Medan, Pekanbaru dan lain-lain,’’ kata Cucu.
Cucu
mengemukakan, kendala yang saat ini dihadapi adalah mesin rusak susah untuk
diperbaiki karena spare part-nya
sudah tak ada yang memproduksi. Dari 30 mesin yang dimilikinya hanya 10 mesin
yang dapat dioperasikan dan berfungsi dengan baik.
Selain
itu, juga terbatasnya sumber daya manusia (SDM) atau pekerja yang rata-rata
sudah lanjut usia. “ Anak muda sekarang gengsi untuk diajari menggunakan mesin
ATBM. Butuh waktu setengah tahun untuk pembinaaan karena prosesnya sulit,”
ujarnya.
Saat
ini Cucu menaruh harapan kepada
anak-anaknya untuk melanjutkan bisnis kain tradisional yang di gelutinya,
“Semoga ada satu dari keempat anak saya yang mau meneruskan bisnis turun
temurun milik kakeknya ini,” ungkapnya.
Variasi Baru
Selain
menjual dalam bentuk kain, Cucu juga memproduksi hasil kain songket, ulos dan
suteranya dijadikan pakaian jadi.
Seperti kemeja, dress, rok, slendang dengan berbagai ukuran. Itu dilakukan
untuk menambah variasi bisnisnya.
“Mencoba
ide baru semoga bisnis tersebut bisa menambah penghasilan keluarganya,”
ujarnya.
Menjual
pakaian jadi dari kain yang diproduksinya baru dilakukan Cucu beberapa tahun
kebelakang, “Sayang daripada banyak potongan-potongan kain yang dibuang,
mending dimanfaatkan dan dijadikan barang berharga tinggi.”
Kain Tradisional Mampu Bersaing
Seiring
waktu berjalan, ditengah gempuran industri modern, kain tenun tradisional
Majalaya produksi Cucu Juhariah harus mampu bertahan. Cucu mengungkapkan, harga
kain tenun radisionalnyanya jauh lebih mahal dengan kain produksi pabrikan. Disamping
kualitas kain tenun, Cucu akan tetap
bersaing dengan kain pabrikan.
“Perbedaannya jauh, ya meski begitu kain milik
saya memiliki keunggulan dan kekhasan berbeda,” katanya.
Saat
ini peminat kain tenun tradisional bersifat segmented, hanya orang yang tau
kualitas barang yang mampu menghargai mahal hasil karya tangan telaten Cucu.
meski begitu Cucu tak gentar untuk terus memproduksi kain tradisionalnya karena
sudah memiliki langgan tersendiri.
Kain
tenunnya saat ini sudah melanglang buana di Indonesia bahkan ia bisa menerobos
pasar luar negeri meski sifatnya pesanan. Cucu menjelaskan kain tenun miliknya
terkenal diluar, kalu di Bandung atau di Jawa Barat sedikit peminatnya.
Kalaupun ada mereka hanya menjadi pembeli sementara yang nantinya kain tersebut
akan dijual kembali.
“Ya,
yang mereka pikirkan hanya harganya yang mahal sehingga mereka enggan untuk
membeli kain tenun milik saya, padahal kualitas jauh berbeda karena
pembuatannya yang masih tradisional,” pungkasnya. Wisma Putra